Kamis, 13 Oktober 2011

Biografi BUYA HAMKA

Haji Abdul Malik
Karim Amrullah
atau lebih dikenal
dengan julukan
HAMKA adalah
seorang ulama,
sastrawan,
sejarawan, dan juga
politikus yang sangat
terkenal di Indonesia.
Ia juga seorang
pembelajar yang
otodidak dalam
bidang ilmu
pengetahuan seperti
filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan
politik, baik Islam
maupun Barat.
Hamka pernah
ditunjuk sebagai
menteri agama dan
juga aktif dalam
perpolitikan
Indonesia. Hamka
lahir di desa kampung
Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, 17
Februari 1908 dan
meninggal di Jakarta,
24 Juli 1981 pada
umur 73 tahun.
Hamka juga diberikan
sebutan Buya, yaitu
panggilan buat orang
Minangkabau yang
berasal dari kata abi,
abuya dalam bahasa
Arab, yang berarti
ayahku, atau
seseorang yang
dihormati. Ayahnya
adalah Syekh Abdul
Karim bin Amrullah,
yang dikenal sebagai
Haji Rasul, yang
merupakan pelopor
Gerakan Islah (tajdid)
di Minangkabau,
sekembalinya dari
Makkah pada tahun
1906. Beliau
dibesarkan dalam
tradisi Minangkabau.
Masa kecil HAMKA
dipenuhi gejolak batin
karena saat itu
terjadi pertentangan
yang keras antara
kaum adat dan kaum
muda tentang
pelaksanaan ajaran
Islam. Banyak hal-hal
yang tidak
dibenarkan dalam
Islam, tapi
dipraktikkan dalam
kehidupan
masyarakat sehari-
hari. Putra HAMKA
bernama H. Rusydi
HAMKA, kader PPP,
anggota DPRD DKI
Jakarta. Anak Angkat
Buya Hamka adalah
Yusuf Hamka,
Chinese yang masuk
Islam.
HAMKA di Sekolah
Dasar Maninjau hanya
sampai kelas dua.
Ketika usia 10 tahun,
ayahnya telah
mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang
Panjang. Di situ
HAMKA mempelajari
agama dan
mendalami bahasa
Arab. HAMKA juga
pernah mengikuti
pengajaran agama di
surau dan masjid
yang diberikan ulama
terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa,
Syeikh Ahmad
Rasyid, Sutan
Mansur, R.M.
Surjopranoto dan Ki
Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA
dikenal sebagai
seorang pengelana.
Bahkan ayahnya,
memberi gelar Si
Bujang Jauh. Pada
usia 16 tahun ia
merantau ke Jawa
untuk menimba ilmu
tentang gerakan
Islam modern kepada
HOS Tjokroaminoto,
Ki Bagus Hadikusumo,
RM Soerjopranoto,
dan KH Fakhrudin.
Saat itu, HAMKA
mengikuti berbagai
diskusi dan training
pergerakan Islam di
Abdi Dharmo
Pakualaman,
Yogyakarta.
HAMKA bekerja
sebagai guru agama
pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan. Pada
tahun 1929 di Padang
Panjang, HAMKA
kemudian dilantik
sebagai dosen di
Universitas Islam,
Jakarta dan
Universitas
Muhammadiyah,
Padang Panjang dari
tahun 1957- 1958.
Setelah itu, beliau
diangkat menjadi
rektor Perguruan
Tinggi Islam, Jakarta
dan Profesor
Universitas Mustopo,
Jakarta.
Sejak perjanjian
Roem-Royen 1949, ia
pindah ke Jakarta dan
memulai kariernya
sebagai pegawai di
Departemen Agama
pada masa KH Abdul
Wahid Hasyim. Waktu
itu HAMKA sering
memberikan kuliah di
berbagai perguruan
tinggi Islam di Tanah
Air.
Dari tahun 1951
hingga tahun 1960,
beliau menjabat
sebagai Pegawai
Tinggi Agama oleh
Menteri Agama
Indonesia. Pada 26
Juli 1977 Menteri
Agama Indonesia,
Prof. Dr. Mukti Ali,
melantik HAMKA
sebagai Ketua Umum
Majlis Ulama
Indonesia tetapi
beliau kemudian
meletakkan jabatan
itu pada tahun 1981
karena nasihatnya
tidak dipedulikan oleh
pemerintah
Indonesia.
HAMKA aktif dalam
gerakan Islam melalui
organisasi
Muhammadiyah.
Beliau mengikuti
pendirian
Muhammadiyah mulai
tahun 1925 untuk
melawan khurafat,
bid’ah, tarekat dan
kebatinan sesat di
Padan g Panjang.
Mulai tahun 1928
beliau mengetuai
cabang
Muhammadiyah di
Padang Panjang. Pada
tahun 1929 HAMKA
mendirikan pusat
latihan pendakwah
Muhammadiyah dan
dua tahun kemudian
beliau menjadi konsul
Muhammadiyah di
Makassar. Kemudian
beliau terpilih menjadi
ketua Majelis
Pimpinan
Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh
Konferensi
Muhammadiyah,
menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Pada
tahun 1953, HAMKA
dipilih sebagai
penasihat pimpinan
Pusat
Muhammadiyah.
Kegiatan politik
HAMKA bermula pada
tahun 1925 ketika
beliau menjadi
anggota partai politik
Sarekat Islam. Pada
tahun 1945, beliau
membantu
menentang usaha
kembalinya penjajah
Belanda ke Indonesia
melalui pidato dan
menyertai kegiatan
gerilya di dalam hutan
di Medan. Pada tahun
1947, HAMKA
diangkat menjadi
ketua Barisan
Pertahanan Nasional,
Indonesia.
Pada tahun 1955
HAMKA beliau masuk
Konstituante melalui
partai Masyumi dan
menjadi pemidato
utama dalam Pilihan
Raya Umum. Pada
masa inilah pemikiran
HAMKA sering
bergesekan dengan
mainstream politik
ketika itu. Misalnya,
ketika partai-partai
beraliran nasionalis
dan komunis
menghendaki
Pancasila sebagai
dasar negara. Dalam
pidatonya di
Konstituante, HAMKA
menyarankan agar
dalam sila pertama
Pancasila dimasukkan
kalimat tentang
kewajiban
menjalankan syariat
Islam bagi
pemeluknyan sesuai
yang termaktub
dalam Piagam
Jakarta. Namun,
pemikiran HAMKA
ditentang keras oleh
sebagian besar
anggota
Konstituante,
termasuk Presiden
Sukarno. Perjalanan
politiknya bisa
dikatakan berakhir
ketika Konstituante
dibubarkan melalui
Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959.
Masyumi kemudian
diharamkan oleh
pemerintah Indonesia
pada tahun 1960.
Meski begitu, HAMKA
tidak pernah
menaruh dendam
terhadap Sukarno.
Ketika Sukarno
wafat, justru HAMKA
yang menjadi imam
salatnya. Banyak
suara-suara dari
rekan sejawat yang
mempertanyakan
sikap HAMKA. "Ada
yang mengatakan
Sukarno itu komunis,
sehingga tak perlu
disalatkan, namun
HAMKA tidak peduli.
Bagi HAMKA, apa
yang dilakukannya
atas dasar hubungan
persahabatan.
Apalagi, di mata
HAMKA, Sukarno
adalah seorang
muslim.
Dari tahun 1964
hingga tahun 1966,
HAMKA dipenjarakan
oleh Presiden
Soekarno karena
dituduh pro-Malaysia.
Semasa
dipenjarakan, beliau
mulai menulis Tafsir
al-Azhar yang
merupakan karya
ilmiah terbesarnya.
Setelah keluar dari
penjara, HAMKA
diangkat sebagai
anggota Badan
Musyawarah
Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota
Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan
anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional
Indonesia.
Pada tahun 1978,
HAMKA lagi-lagi
berbeda pandangan
dengan pemerintah.
Pemicunya adalah
keputusan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan Daoed
Joesoef untuk
mencabut ketentuan
libur selama puasa
Ramadan, yang
sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA
kembali diuji ketika
tahun 1980 Menteri
Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara
meminta MUI
mencabut fatwa
yang melarang
perayaan Natal
bersama. Sebagai
Ketua MUI, HAMKA
langsung menolak
keinginan itu. Sikap
keras HAMKA
kemudian ditanggapi
Alamsyah dengan
rencana pengunduran
diri dari jabatannya.
Mendengar niat itu,
HAMKA lantas
meminta Alamsyah
untuk
mengurungkannya.
Pada saat itu pula
HAMKA memutuskan
mundur sebagai
Ketua MUI.
Selain aktif dalam
soal keagamaan dan
politik, HAMKA
merupakan seorang
wartawan, penulis,
editor dan penerbit.
Sejak tahun 1920-an,
HAMKA menjadi
wartawan beberapa
buah akhbar seperti
Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan
Muhammadiyah. Pada
tahun 1928, beliau
menjadi editor
majalah Kemajuan
Masyarakat. Pada
tahun 1932, beliau
menjadi editor dan
menerbitkan majalah
al-Mahdi di Makasar.
HAMKA juga pernah
menjadi editor
majalah Pedoman
Masyarakat, Panji
Masyarakat dan
Gema Islam.
HAMKA juga
menghasilkan karya
ilmiah Islam dan
karya kreatif seperti
novel dan cerpen.
Karya ilmiah
terbesarnya ialah
Tafsir al-Azhar (5
jilid). Pada 1950, ia
mendapat
kesempatan untuk
melawat ke berbagai
negara daratan Arab.
Sepulang dari
lawatan itu, HAMKA
menulis beberapa
roman. Antara lain
Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di
Lembah Sungai Nil,
dan Di Tepi Sungai
Dajlah. Sebelum
menyelesaikan
roman-roman di atas,
ia telah membuat
roman yang lainnya.
Seperti Di Bawah
Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck,
Merantau ke Deli, dan
Di Dalam Lembah
Kehidupan
merupakan roman
yang mendapat
perhatian umum dan
menjadi buku teks
sastera di Malaysia
dan Singapura.
Setelah itu HAMKA
menulis lagi di
majalah baru Panji
Masyarakat yang
sempat terkenal
karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta
berjudul Demokrasi
Kita.
Setelah peristiwa
1965 dan berdirinya
pemerintahan Orde
Baru, HAMKA secara
total berperan
sebagai ulama. Ia
meninggalkan dunia
politik dan sastra.
Tulisan-tulisannya di
Panji Masyarakat
sudah
merefleksikannya
sebagai seorang
ulama, dan ini bisa
dibaca pada rubrik
Dari Hati Ke Hati yang
sangat bagus
penuturannya.
Keulamaan HAMKA
lebih menonjol lagi
ketika dia menjadi
ketua MUI pertama
tahun 1975.
HAMKA dikenal
sebagai seorang
moderat. Tidak
pernah beliau
mengeluarkan kata-
kata keras, apalagi
kasar dalam
komunikasinya. Beliau
lebih suka memilih
menulis roman atau
cerpen dalam
menyampaikan
pesan-pesan moral
Islam.
Ada satu yang
sangat menarik dari
Buya HAMKA, yaitu
keteguhannya
memegang prinsip
yang diyakini. Inilah
yang membuat
semua orang
menyeganinya. Sikap
independennya itu
sungguh bukan hal
yang baru bagi
HAMKA. Pada zamam
pemerintah
Soekarno, HAMKA
berani mengeluarkan
fatwa haram
menikah lagi bagi
Presiden Soekarno.
Otomatis fatwa itu
membuat sang
Presiden berang
’kebakaran jenggot’.
Tidak hanya berhenti
di situ saja, HAMKA
juga terus-terusan
mengkritik
kedekatan
pemerintah dengan
PKI waktu itu. Maka,
wajar saja kalau
akhirnya dia
dijebloskan ke
penjara oleh
Soekarno. Bahkan
majalah yang
dibentuknya ''Panji
Masyarat'' pernah
dibredel Soekarno
karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta
yang berjudul
''Demokrasi Kita''
yang terkenal itu.
Tulisan itu berisi
kritikan tajam
terhadap konsep
Demokrasi Terpimpin
yang dijalankan Bung
Karno. Ketika tidak
lagi disibukkan
dengan urusan-
urusan politik, hari-
hari HAMKA lebih
banyak diisi dengan
kuliah subuh di Masjid
Al-Azhar, Jakarta
Selatan.
Pada tanggal 24 Juli
1981 HAMKA telah
pulang ke
rahmatullah. Jasa dan
pengaruhnya masih
terasa sehingga kini
dalam
memartabatkan
agama Islam. Beliau
bukan sahaja
diterima sebagai
seorang tokoh ulama
dan sastrawan di
negara kelahirannya,
bahkan jasanya di
seantero Nusantara,
ter masuk Malaysia
dan Singapura, turut
dihargai.
Atas jasa dan karya-
karyanya, HAMKA
telah menerima
anugerah
penghargaan, yaitu
Doctor Honoris Causa
dari Universitas al-
Azhar Cairo (tahun
1958), Doctor Honoris
Causa dari
Universitas
Kebangsaan Malaysia
(tahun 1958), dan
Gelar Datuk Indono
dan Pengeran
Wiroguno dari
pemerintah Indonesia
Pandangan
sastrawan, HAMKA
yang juga dikenal
sebagai Tuanku
Syekh Mudo Abuya
Prof. Dr. Haji Abdul
Malik Karim Amrullah
Datuk Indomo
tentang kepenulisan.
Buya HAMKA
menyatakan ada
empat syarat untuk
menjadi pengarang.
Pertama, memiliki
daya khayal atau
imajinasi; kedua,
memiliki kekuatan
ingatan; ketiga,
memiliki kekuatan
hapalan; dan
keempat, memiliki
kesanggupan
mencurahkan tiga hal
tersebut menjadi
sebuah tulisan.
Kitab Tafsir Al-Azhar
merupakan karya
gemilang Buya
HAMKA. Tafsir Al-
Quran 30 juz itu salah
satu dari 118 lebih
karya yang dihasilkan
Buya HAMKA semasa
hidupnya. Tafsir
tersebut dimulainya
tahun 1960.
HAMKA meninggalkan
karya tulis segudang.
Tulisan-tulisannya
meliputi banyak
bidang kajian: politik
(Pidato Pembelaan
Peristiwa Tiga Maret,
Urat Tunggang
Pancasila), sejarah
(Sejarah Ummat
Islam, Sejarah Islam
di Sumatera), budaya
(Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi),
akhlak (Kesepaduan
Iman & Amal Salih ),
dan ilmu-ilmu
keislaman
(Tashawwuf
Modern).
Read more...